Sedangkan rafats adalah perkataan keji yang menjurus pada syahwat. Atau istilah lainnya pornografi.
Hakikat puasa juga mengelola emosi sehingga tidak mudah marah, tidak mudah terprovokasi.
Bahkan kalaupun ada yang mencaci atau membully, orang yang benar-benar berpuasa akan bersabar dan cukup merespon dengan ucapan, “aku sedang berpuasa.”
Meninggalkan Kebohongan dan Kezaliman
Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan hakikat puasa adalah meninggalkan kebohongan dan kezaliman.
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan palsu dan pengamalannya, maka Allah tidak mempunyai keperluan untuk meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya). (HR. Bukhari)
Berbohong memang tidak membatalkan puasa, tetapi pada hakikatnya ia bukanlah orang yang puasa. Pahalanya berkurang, bahkan hangus sama sekali. Meskipun seharian ia menahan lapar dan dahaga.
Apalagi jika kebohongannya berdampak besar. Misalnya sumpah palsu, menipu orang, mencuri dan korupsi. Semakin besar dampak negatif yang timbul, semakin jauh ia dari hakikat puasa. Maka, meskipun sama-sama berdosa, antara mencuri ayam tetangga dengan korupsi milyaran uang negara tentu besaran dosanya berbeda.
Bukanlah puasa jika seseorang masih suka berbohong, menipu, menzalimi orang lain, menzalimi hak banyak orang dengan korupsi, dan sejenisnya.
Hakikat Puasa adalah Membentuk Taqwa
Hakikat puasa kemudian terangkum dalam tujuannya. Yakni membentuk taqwa. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa. (QS. Al Baqarah: 183)
Inilah hakikat taqwa, membentuk pribadi bertaqwa. Maka orang yang benar-benar berpuasa, ia akan semakin taat terhadap perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sebagaimana Ibnu Katsir rahimahullah merangkum hakikat puasa saat menafsirkan ayat ini.