Manadonesia.com - Gas elpiji atau liquefied petroleum gas (LPG) telah menjadi kebutuhan penting bagi banyak masyarakat di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Kelangkaan gas elpiji yang belakangan terjadi di Indonesia bahkan berdampak serius, seperti peristiwa tragis di mana seorang perempuan lansia meninggal karena kelelahan saat mengantre untuk membeli gas elpiji.
Secara historis, bahan bakar gas mulai mendapat perhatian luas pada masa Perang Dunia II, ketika kelangkaan bensin menjadi tantangan besar.
Namun, yang mungkin tidak banyak diketahui adalah bahwa gas elpiji pertama kali digunakan sebagai bahan bakar motor jauh sebelum perang tersebut dimulai.
Penemuan Gas Elpiji
Berdasarkan informasi dari laman Makeen Energy, gas elpiji pertama kali ditemukan pada tahun 1910 oleh seorang ahli kimia asal Amerika Serikat, Walter O. Snelling.
Saat itu, Snelling menyadari bahwa minyak bumi tidak hanya menghasilkan bensin, solar, dan minyak pemanas, tetapi juga mengandung gas elpiji.
Penemuan ini berawal dari sebuah keluhan seorang pemilik mobil yang heran karena setengah dari bensinnya menguap sebelum ia tiba di rumah setelah mengisi tangki Ford Model T miliknya.
Snelling kemudian melakukan penelitian dan menemukan bahwa sebagian dari bensin berubah menjadi uap, yang kemudian dikenal sebagai gas elpiji.
Ia pun mulai meneliti lebih lanjut sifat-sifat bensin dan berhasil memisahkan fraksi gas dari fraksi cair, yang mengarah pada penemuan propana.
Pada tahun 1912, Snelling memasang instalasi propana domestik pertamanya, dan setahun kemudian, ia mematenkan produksi propana dalam skala industri.
Hak paten tersebut kemudian dibeli oleh Frank Phillips, pendiri perusahaan minyak ConocoPhillips.
Namun, saat itu konsumsi gas elpiji masih terbatas dan belum berkembang secara signifikan.
Gas Elpiji sebagai Bahan Bakar
Penggunaan praktis gas elpiji pertama kali dicatat pada tahun 1918, ketika bahan bakar ini dimanfaatkan untuk lampu las dan obor pemotong logam.