Manadonesia.com - Kejaksaan Agung membantah pernyataan Wilmar International Limited yang menyebut dana Rp11,8 triliun yang disita dalam kasus dugaan korupsi fasilitas ekspor CPO sebagai dana jaminan.
Kejagung menjelaskan bahwa tak ada istilah dana jaminan dalam penanganan perkara korupsi.
"Dalam penanganan tindak pidana korupsi tak ada istilah dana jaminan," tegas Kapuspenkum Kejagung RI, Harli Siregar dikutip Rabu 18 Juni 2025.
"Yang ada uang disita sebagai barang bukti atau uang pengembalian kerugian negara," lanjut Harli.
Pernyataan ini merespons sikap Wilmar yang sebelumnya menyatakan bahwa dana tersebut ditempatkan secara sukarela untuk menunjukkan itikad baik dalam proses banding hukum yang tengah berlangsung.
Lima anak perusahaan Wilmar yang menjadi terdakwa korporasi dituduh meraup keuntungan ilegal saat krisis minyak goreng pada 2021.
Namun Kejagung menegaskan bahwa uang yang disita merupakan hasil penetapan hukum, bukan penempatan sukarela.
Dana itu telah dikukuhkan melalui Penetapan Izin Penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor 40/Pid.Sus-TPK/2025/PN.Jkt.Pst tertanggal 4 Juni 2025.
"Karena perkaranya masih berjalan, uang pengembalian tersebut disita," jelas Harli.
Menurut Harli, dana yang disita itu akan menjadi bagian penting dalam memori kasasi yang diajukan oleh tim jaksa penuntut umum kepada Mahkamah Agung.
Nantinya, uang tersebut akan diperhitungkan sebagai kompensasi kerugian negara akibat tindakan koruptif korporasi.
"Kami harus optimis karena kita juga menyitanya sudah mendapatkan persetujuan dari pengadilan dan JPU," tegas Harli Siregar.
Sebelumnya, Wilmar menyatakan bahwa mereka menaruh dana sebesar Rp11,8 triliun sebagai dana jaminan dan menyebut tindakan korporasi mereka tidak melanggar aturan ekspor yang berlaku saat itu.***