Fakta Survei: Media Lebih Dipercaya
Data survei Indonesian Presidential Studies (IPS) UGM tahun 2022 membuktikan hal itu. Sebanyak 74,4 persen publik masih percaya pada media formal, seperti televisi, radio, dan surat kabar.
Sementara media sosial hanya dipercaya oleh 12,7 persen masyarakat. Angka ini memperlihatkan jurang besar antara kredibilitas media dan influencer.
Fakta ini seharusnya jadi bahan pertimbangan serius bagi Presiden Prabowo untuk mengubah pola komunikasi. Terlebih terdapat sejumlah kasus blunder politik dari influencer yang diungkap Indonesia Corruption Watch (ICW).
Pengalaman Buruk dengan Influencer
Indonesia punya banyak catatan soal blunder influencer. ICW mengingatkan, pada masa pandemi pemerintah sempat menggelar konser BPIP yang melibatkan artis. Acara itu justru dikritik karena tidak peka pada situasi krisis.
Kasus lainnya adalah kampanye Omnibus Law dengan tagar “Indonesia Butuh Kerja”. Sejumlah influencer yang ikut mempromosikan akhirnya meminta maaf karena mengaku tidak paham isi kebijakan.
Hal ini menunjukkan influencer rawan jadi alat propaganda tanpa dasar pengetahuan yang mumpuni. Adapun sebuah penelitian internasional yang membuktikan influencer bukanlah solusi untuk digunakan sebagai melakukan agenda politik.
Riset Internasional: Influencer Bukan Solusi
Riset Pew Research Center tahun 2024 di Amerika Serikat menunjukkan hanya 20 persen warga yang rutin mendapat berita dari influencer. Bahkan sebagian besar influencer tidak punya latar belakang jurnalistik.
Artinya, meski mereka populer, kualitas informasi yang mereka sebarkan sering kali diragukan. Hal yang sama bisa terjadi di Indonesia jika pemerintah pada akhirnya dinilai terlalu bergantung pada mereka.
Lantas, mengapa media massa dinilai dapat lebih dipercaya masyarakat ketimbang influencer di media sosial? Hal ini berkaitan dengan kredibilitas standar berita media jurnalistik.
Media Bisa Jaga Demokrasi
Selain soal kredibilitas, media juga berperan penting dalam menjaga ruang demokrasi. Dengan menghadirkan informasi berimbang, media membantu publik memahami kebijakan negara secara utuh.
Jika pemerintah hanya mengandalkan influencer, ruang kritik bisa tergerus karena narasi publik dikendalikan oleh buzzer yang dibayar. Itu sebabnya, banyak akademisi mengingatkan agar Presiden kembali pada pola komunikasi klasik yang melibatkan media.
Artikel Terkait
Tak Ada Ruang untuk Anarkisme, TNI-Polri Gencarkan Patroli Bersama hingga RT/RW
Setelah Rumahnya Dijarah Oknum Demo, Sri Mulyani Ajak Bangun Indonesia Tanpa Anarki dan Kebencian
Israel Klaim Tewaskan Juru Bicara Hamas Abu Obeida dalam Serangan Udara di Gaza
Ikuti Jejak Thom Haye, Eliano Reijnders Jadi Punggawa Anyar Persib Bandung
Tragedi Kapal Penumpang Tenggelam saat Perjalanan Menuju Eropa, 70 Orang Dilaporkan Tewas
7 Tips Finansial untuk Keluarga Muda: Mengelola Biaya Tersembunyi usai Kelahiran sang Bayi
Mengintip Fitur-Fitur Canggih yang Kini Wajib Ada di Mobil Modern
5 Pilihan Ide Bisnis Sederhana untuk Pemula dengan Modal Terjangkau
Tips Memulai Usaha Minim Risiko untuk Pemula agar Lebih Aman
Makanan Ringan Indonesia Sukses Masuk Pasar Afrika, Ekspor Perdana Tembus Pantai Gading