Tedy terang-terangan mengungkap bahwa kasus yang menimpanya adalah sebagai sebuah konspirasi.
Tedy merasa sejak awal pengumuman dia dinyatakan positif mengonsumsi metamfetamina atau sabu, tapi diralat kembali oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Teddy mengatakan saaat tes urine ketika ia baru saja mendapatkan penanganan medis dengan bius total.
Karena bius total itu, dia mengatakan hasil urinenya menjadi positif, tapi malah dikaitkan dengan sabu.
Teddy juga merasa hukuman mati begitu berat karena dalam persidangan, namanya diseret tanpa alat bukti yang sah.
Menurutnya selama penyidikan berlangsung, dia tidak ditunjukkan bukti secara penuh, terutama soal pesan WhatsApp antara dua terdakwa lainnya.
Kedua terdakwa lainnya yaitu, Ajun Komisaris Besar Polisi Dody Prawiranegara dan Linda Pujiastuti alias Anita Cepu.
Tedy menyebut sejak penyidikan, barang bukti berupa sabu yang ditiduhkan padanya tak bisa dibuktikan oleh pihak kepolisian.
Hukuman mati terhadap dirinya hanya berdasarkan keterangan para saksi yang juga kala itu berstatus sebagai tersangka.
Teddy menyangkal dengan tegas soal tuduhan bahwa ia telah memerintahkan Ajun Komisaris Besar Polisi Dody Prawiranegara untuk menukarkan sabu dengan tawas.
Menurut Tedy, pesan WhatsApp yang dikirim kepada Dody itu cuma untuk menguji eks Kapolres Bukittinggi itu.
Karena Tedy merasa curiga pada Dody yang telah memberikan laporan janggal pengungkapan sabu pada Mei 2022.
Maka mantan Irjen Pol Teddy Minahasa berkesimpulan dan membacakan pembelaan bahwa tuntutan hukuman mati dari JPU hanyalah titipan penyidik.