nasional

Pelibatan TNI dalam Penanganan Narkotika, Upaya Strategis atau Ancaman Demokrasi? Ini Kata YLBHI

Minggu, 16 Maret 2025 | 14:31 WIB
Momen pelantikan KASAD, Jendral TNI Maruli Simanjuntak, M.Sc pada Desember 2023 lalu. (instagram.com/tentara_nasionlaindonesia)

Manadonesia.com - Pelibatan militer dalam penanganan narkotika menjadi salah satu poin dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI).

Anggota Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin menjelaskan bahwa keterlibatan TNI dalam urusan narkotika merupakan bagian dari tugas Operasi Militer Selain Perang (OMSP).

"Saya kira nanti akan diatur dengan Perpres," ujar Hasanuddin dalam rapat panja RUU TNI yang berlangsung di Hotel Fairmont, Jakarta, pada Sabtu, 15 Maret 2025.

Ia menegaskan bahwa peran TNI dalam penanganan narkotika bersifat sebagai perbantuan kepada pemerintah, bukan dalam konteks penegakan hukum.

Dalam DIM RUU TNI, usulan ini tertuang dalam Pasal 7 ayat (2) butir ke-17.

Aturan tersebut mengatur bahwa TNI dapat membantu pemerintah dalam menangani penyalahgunaan narkotika, prekursor, dan zat adiktif lainnya.

Ketentuan ini sebelumnya tidak ada dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Usulan ini didasarkan pada kekhawatiran akan tingginya jumlah pengguna narkotika di Indonesia, yang mencapai 3,6 juta jiwa.

Kondisi ini telah menyebabkan overkapasitas di lembaga pemasyarakatan.

Bahkan, mantan Presiden Joko Widodo pada rapat terbatas tahun 2023 mengusulkan agar fasilitas resimen induk daerah militer (Rindam) digunakan sebagai tempat rehabilitasi bagi pengguna narkotika.

Meski demikian, usulan ini memicu kritik dari Koalisi Masyarakat Sipil.

Dalam siaran pers tertulisnya pada Minggu, 16 Maret 2025, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) memandang revisi UU TNI bertentangan dengan agenda reformasi TNI.

“Kami memandang bahwa usulan revisi UU TNI bertentangan dengan agenda reformasi TNI yang semestinya mendukung TNI menjadi tentara profesional sebagai alat pertahanan negara sebagaimana amanat konstitusi dan demokrasi,” tulis siaran pers resmi YLBHI yang rilis pada Minggu, 16 Maret 2025.

Bahkan, YLBHI menilai bahwa hal ini tidak sejalan dengan prinsip dasar negara hukum dan supremasi sipil serta merusak sendi-sendi kehidupan demokrasi.

“Jika hal ini dibiarkan akan berdampak serius pada suramnya masa depan demokrasi, tegaknya negara hukum dan peningkatan eskalasi pelanggaran Berat HAM di masa depan,” tambahnya.

Halaman:

Tags

Terkini