Manadonesia.com - Kebijakan kontroversial Presiden Donald Trump untuk menghidupkan kembali industri batu bara Amerika menuai sorotan dunia.
Di saat banyak negara berlomba menekan emisi dan beralih ke energi bersih, Trump justru menandatangani empat perintah eksekutif yang memperkuat posisi bahan bakar fosil, termasuk batu bara.
Langkah ini segera berdampak pada pasar.
Harga batu bara tercatat naik ke US$100,25/ton atau sekitar Rp2 juta/ton pada 8 April 2025, atau meningkat 1,37% dari sehari sebelumnya.
Meski menjadi satu-satunya komoditas energi yang menguat, keputusan ini dinilai sebagai langkah mundur dalam upaya global mengatasi perubahan iklim.
Perintah Trump mencakup penundaan penutupan pembangkit tua, percepatan izin tambang di lahan federal, serta pembentukan dewan energi khusus untuk memangkas hambatan regulasi.
Ia juga memerintahkan investigasi terhadap negara bagian yang dianggap menghambat industri batu bara.
"Kami mengakhiri perang Joe Biden terhadap batu bara yang indah dan bersih, sekali dan untuk selamanya. Dan bukan hanya Biden, tapi juga Obama, dan yang lainnya," ujar Trump dengan nada tegas, dikelilingi oleh para penambang dikutip pada Rabu, 9 April 2025.
Namun, istilah “batu bara bersih” dinilai menyesatkan oleh sejumlah pemerhati lingkungan.
Pembakaran batu bara tetap menghasilkan emisi tinggi, dan teknologi “bersih” yang dijanjikan masih belum masif atau ekonomis diterapkan.
Kebijakan ini dikhawatirkan menurunkan komitmen AS terhadap Perjanjian Iklim Paris dan memperburuk krisis iklim.
Sejak awal masa jabatannya, Trump memang konsisten membalikkan kebijakan energi era Obama dan Biden, termasuk menarik AS dari kesepakatan iklim global dan memprioritaskan bahan bakar fosil.
Bahkan, dalam kebijakan terbarunya, ia menghentikan dorongan terhadap kendaraan listrik dan menyatakan darurat energi nasional, yang membuat banyak pihak khawatir akan kelangsungan transisi energi bersih di AS.
Di sisi lain, meski Indonesia sebagai eksportir batu bara bisa diuntungkan secara ekonomi, para pengamat lingkungan menilai bahwa keuntungan ini bersifat jangka pendek dan bisa menimbulkan tekanan internasional dalam jangka panjang jika tak disertai dengan strategi dekarbonisasi yang seimbang.