Diriwayatkan dari Mu’adzah al-‘Adawiyyah bahwa ia bertanya kepada Aisyah, “Apakah Rasulullah Saw melaksanakan puasa tiga hari setiap bulan?”.
Aisyah menjawab, “Ya”. Saya katakan kepadanya, “Pada hari apa saja?”. Aisyah menjawab, “Beliau tidak memperdulikan hari apa saja setiap bulan ia laksanakan puasa”. (HR. Muslim).
Kemudian az-Zarqani berkata, “Hikmah dalam puasa Bidh, bahwa ia pertengahan bulan, pertengahan sesuatu adalah yang paling seimbang.
Dan karena biasanya gerhana matahari dan gerhana bulan terjadi pada tanggal-tanggal tersebut.
Terdapat perintah agar meningkatkan ibadah jika itu terjadi. Jika gerhana matahari terjadi bertepatan dengan hari-hari puasa Bidh, maka seseorang dalam keadaan siap untuk menggabungkan beberapa jenis ibadah seperti puasa, shalat dan sedekah.
Berbeda dengan orang yang tidak terbiasa melakukannya, ia tidak siap untuk melaksanakan puasa pada hari itu. Ini berkaitan dengan puasa pada hari-hari Bidh setiap bulan.
Adapun tentang puasa enam hari di bulan Syawal, penyebutannya sebagai Bidh adalah tidak benar.
Terlepas dari penamaannya, puasa enam hari di bulan Syawal itu dianjurkan, tidak wajib. Terdapat hadits tentang itu:
مَنْ صَامَ رَمَضَا جثَُّ أَتْ بَ عَهج سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَا كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Siapa yang melaksanakan puasa Ramadhan, kemudian ia iringi dengan enam hari di bulan Syawal, maka seperti puasa sepanjang tahun”. (HR. Muslim).
Keutamaannya disebutkan dalam hadits riwayat ath-Thabrani:
مَنْ صَامَ رَمَضَا وَأَتْ بَ عَهج سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ خَرَجَ مِنْ ذج نجوبِهِ كَيَ وْمِ وَلَدَتْهج أجمُّه ج
“Siapa yang melaksanakan puasa Ramadhan dan ia mengiringinya dengan enam hari di bulan Syawwal, ia keluar dari dosanya seperti hari ia dilahirkan ibunya”.
Makna puasa ad-Dahr adalah puasa sepanjang tahun. Penjelasan ini disebutkan dalam hadits dalam beberapa riwayat Ibnu Majah, an-Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya.
Maknanya bahwa satu kebaikan itu dibalas sepuluh kebaikan yang sama dengannya.